Rabu, 05 Oktober 2011

Kemana Larinya Sarjana Kita



Suatu ketika saya pernah pergi ke Desa Baros, sebuah desa kecil di daerah Bandung Selatan. Di sana saya ingin mengadakan klinik gratis tiap minggunya bersama teman-teman farmasi yang lain tapi belum terealisasi sampai sekarang hanya karena permasalahan perijinan. Entahlah, mungkin orang sekarang lebih peduli kepada birokrasi dan nama dari pada konten atau esensi yang ingin dibawa. Tetapi di sini saya tidak ingin membahas permasalahan itu. Ada hal lain yang lebih menarik bagi saya.


Suatu ketika saya dan teman-teman melihat gedung yang digunakan sebagai puskesmas keliling, yang hanya buka sekali dalam seminggu. Kami temui berbagai macam obat yang terdapat di salah satu ruang gedung tersebut. Sebagai seorang calon farmasis tentunya kami ingin tahu obat apa saja yang ada di sana yang selanjutnya kami jadikan sebagai bahan kajian untuk mengetahui penyakit-penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat desa tersebut.

Yang menarik bagi saya bukan tentang penyakit yang banyak diderita masyarakat tersebut tapi tentang penampilan obat tersebut (tentunya dari sisi pandang saya yang mempunyai latar belakang teknologi farmasi/farmasetika). Saya temui sebuah obat yang sering dan mudah kita temui sehari-hari. Jika anda berpikir tentang parasetamol maka anda benar. Parasetamol tersebut dalam bentuk tablet. Yang pertama kali membuat saya tertarik adalah barcode bertuliskan harga obat tersebut, 50 ribu rupiah dalam satu botol berisi 1000 tablet. Luar biasa saya pikir, obat seharga 50 ribu rupiah, murah meriah.

Rasa penasaran saya tak berhenti sampai di situ. Saya ingin mengetahui seperti apa tablet yang satu bijinya seharga 50 rupiah tersebut. Luar biasa lagi, setelah saya amat-amati banyak sekali debu/partikel yang terdapat di permukaan obat tersebut. Dan ketika tak sengaja ada yang terjatuh, booom....terbelahlah dia dengan seketika. Ya, inilah obat generik. Mungkin bisa dibilang generik dari generiknya generik.

Di sini ada sebuah korelasi yang luar biasa (sekali lagi saya katakan luar biasa dan nanti anda akan tahu kenapa). Harga murah menghasilkan kualitas obat seperti yang telah saya ceritakan. Dalam dunia bisnis dan industi, hal yang paling mudah dilakukan adalah mencari bahan baku semurah mungkin untuk memperbesar margin keuntungan. Tapi farmasi tidak hanya tentang bisnis. Di dalamnya terkandung tanggung jawab sosial juga, apalagi bagi seseorang yang telah disumpah sebagai apoteker.

Seperti yang telah dipelajari dalam dunia farmasi bahwa tekologi pembuatan farmasi merupakan penunjang diantarkannya obat kepada target kerja obat. Tentu saja sediaan tablet memiliki proses yang panjang untuk mencapai target kerjanya. Perbedaan kondisi fisik suatu tablet akan berpengaruh kepada proses-proses farmasetika dan farmakokinetika dalam tubuh. Dengan kondisi tablet yang buruk, tentunya kita tahu apa konsekuensi di balik semua itu.

Hal yang luar biasa adalah kita sebagai seorang mahasiswa atau yang dulunya sebagai mahasiswa tentu tahu akan hal itu. Itu yang senantiasa kita pelajari dalam setiap kuliah-kuliah. Semuanya harus dibuat sempurna. Formulasi sempurna, perhitungan sempurna, penimbangan sempurna, pengukuran sempurna, dan tentu saja hasil yang sempurna. Teramat beda dengan keadaan di luar kampus yang ternyata tidak ada bekas-bekas kesempurnaan itu, kalau boleh saya bilang.

Kalau saya pikir, dengan kualitas tablet yang semacam itu, mungkin orang akan sembuh bukan karena efek yang diberikan oleh obat, tapi lebih karena sugesti yang timbul dengan meminum obat tersebut. Teringat dengan masa kecil ketika datang ke puskesmas untuk berobat. Setiap saya datang selalu ada orang yang meminta disuntik. Waktu itu saya bertanya-tanya kenapa mereka selalu minta disuntik? Dan jawabannya saya temukan ketika ada tetangga yang bercerita kepada orang tua saya, ”saya pusing-pusing, minta suntik sama dokter itu langsung sembuh.” Ya, jawabannya adalah sugesti, dan ini akan banyak anda temui di kampung-kampung. Sugesti bukan hanya karena “suntik” tapi juga “dokter”, yang sebetulnya adalah mantri suntik atau perawat.

Saya tidak menyalahkan sugesti dalam dunia pengobatan karena itu termasuk hal penting, tapi tidak terpikirkah kita, kenapa farmasis tidak membuat plasebo saja kalau permasalahannya hanya sugesti? Masyarakat tidak akan ada yang tahu kalau obat yang mereka minum adalah plasebo, bukan? Tapi seorang farmasis tidak bisa mengabaikan tanggung jawab sosial yang dibebankan. Tanggung jawab sosial yang seharusnya menciptakan sesuatu yang terbaik untuk masyarakat, seperti yang sering kita temui di kampus-kampus dengan segala “kesempurnaannya” itu.

Tak habis pikir saya, ketika ITB (kampus saya) meluluskan tidak kurang dari 100 mahasiswa farmasi setiap tahunnya, dan entah ada berapa di universitas yang lainnya. Lalu kemana larinya setiap senti teknologi sediaan yang telah mereka pelajari? Bukankah Universitas, sebagai dunia yang begitu imajiner (istilah kami), telah mengajarkan banyak hal tentang kesempurnaan? Nilai sempurna dan jawaban sempurna. Inilah yang hilang dari sini, suatu pandangan tentang dunia nyata di luar sana yang lebih dinamis. Yang berujung pada terseretnya kita pada dinamika kehidupannya dan membuat kita lupa dengan apa yang diajarkan. Seperti berkata pada diri sendiri,”aku disana hanya mencari sesuatu dan sesuatu itu kini tak berguna lagi.” Inilah yang sering sekali hilang: sikap. Dan mungkin ini juga merupakan dampak dari pengajaran yang berbasis pada “kesempurnaan” tanpa memperhatikan bagaimana bersikap dalam “memandang keluar”, atau mungkin juga karena kita jarang sekali “melihat” ke luar sana.

Ini hanyalah sebuah contoh dari sekian banyak hal di luar sana. Di dunia farmasi yang kecil ini, mungkin ini hanya satu dari berjuta permasalahan yang seharusnya tidak menjadi masalah bagi kita. Di luar farmasi apa lagi, pasti lebih banyak permasalahan-permasalahan. Padahal banyak sekali universitas-universitas yang telah meluluskan sarjananya dengan bermodalkan pengetahuan yang telah dipelajari bertahun-tahun lamanya. Dan satu pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di pikiranku adalah “Kemana Larinya Sarjana Kita?”.

Senja telah terhimpun,
menilik awan-awan merah,
mungkin aku masih punya eok hari,
maka berdongenglah malam ini karena kau tak lagi pagi...

Artikel By : Taufik Fatwa N.H.
Source : Taufik Notes