Suatu ketika saya pernah pergi ke Desa Baros, sebuah
desa kecil di daerah Bandung Selatan. Di sana saya ingin mengadakan klinik
gratis tiap minggunya bersama teman-teman farmasi yang lain tapi belum
terealisasi sampai sekarang hanya karena permasalahan perijinan. Entahlah,
mungkin orang sekarang lebih peduli kepada birokrasi dan nama dari pada konten
atau esensi yang ingin dibawa. Tetapi di sini saya tidak ingin membahas
permasalahan itu. Ada hal lain yang lebih menarik bagi saya.
Suatu ketika saya dan teman-teman melihat gedung yang
digunakan sebagai puskesmas keliling, yang hanya buka sekali dalam seminggu.
Kami temui berbagai macam obat yang terdapat di salah satu ruang gedung
tersebut. Sebagai seorang calon farmasis tentunya kami ingin tahu obat apa saja
yang ada di sana yang selanjutnya kami jadikan sebagai bahan kajian untuk
mengetahui penyakit-penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat desa
tersebut.
Yang menarik bagi saya bukan tentang penyakit yang
banyak diderita masyarakat tersebut tapi tentang penampilan obat tersebut
(tentunya dari sisi pandang saya yang mempunyai latar belakang teknologi
farmasi/farmasetika). Saya temui sebuah obat yang sering dan mudah kita temui
sehari-hari. Jika anda berpikir tentang parasetamol maka anda benar.
Parasetamol tersebut dalam bentuk tablet. Yang pertama kali membuat saya
tertarik adalah barcode bertuliskan harga obat tersebut, 50 ribu rupiah dalam
satu botol berisi 1000 tablet. Luar biasa saya pikir, obat seharga 50 ribu
rupiah, murah meriah.
Rasa penasaran saya tak berhenti sampai di situ. Saya
ingin mengetahui seperti apa tablet yang satu bijinya seharga 50 rupiah
tersebut. Luar biasa lagi, setelah saya amat-amati banyak sekali debu/partikel
yang terdapat di permukaan obat tersebut. Dan ketika tak sengaja ada yang
terjatuh, booom....terbelahlah dia dengan seketika. Ya, inilah obat generik.
Mungkin bisa dibilang generik dari generiknya generik.
Di sini ada sebuah korelasi yang luar biasa (sekali
lagi saya katakan luar biasa dan nanti anda akan tahu kenapa). Harga murah
menghasilkan kualitas obat seperti yang telah saya ceritakan. Dalam dunia
bisnis dan industi, hal yang paling mudah dilakukan adalah mencari bahan baku
semurah mungkin untuk memperbesar margin keuntungan. Tapi farmasi tidak hanya
tentang bisnis. Di dalamnya terkandung tanggung jawab sosial juga, apalagi bagi
seseorang yang telah disumpah sebagai apoteker.
Seperti yang telah dipelajari dalam dunia farmasi
bahwa tekologi pembuatan farmasi merupakan penunjang diantarkannya obat kepada
target kerja obat. Tentu saja sediaan tablet memiliki proses yang panjang untuk
mencapai target kerjanya. Perbedaan kondisi fisik suatu tablet akan berpengaruh
kepada proses-proses farmasetika dan farmakokinetika dalam tubuh. Dengan
kondisi tablet yang buruk, tentunya kita tahu apa konsekuensi di balik semua
itu.
Hal yang luar biasa adalah kita sebagai seorang
mahasiswa atau yang dulunya sebagai mahasiswa tentu tahu akan hal itu. Itu yang
senantiasa kita pelajari dalam setiap kuliah-kuliah. Semuanya harus dibuat
sempurna. Formulasi sempurna, perhitungan sempurna, penimbangan sempurna,
pengukuran sempurna, dan tentu saja hasil yang sempurna. Teramat beda dengan
keadaan di luar kampus yang ternyata tidak ada bekas-bekas kesempurnaan itu,
kalau boleh saya bilang.
Kalau saya pikir, dengan kualitas tablet yang semacam
itu, mungkin orang akan sembuh bukan karena efek yang diberikan oleh obat, tapi
lebih karena sugesti yang timbul dengan meminum obat tersebut. Teringat dengan
masa kecil ketika datang ke puskesmas untuk berobat. Setiap saya datang selalu
ada orang yang meminta disuntik. Waktu itu saya bertanya-tanya kenapa mereka
selalu minta disuntik? Dan jawabannya saya temukan ketika ada tetangga yang
bercerita kepada orang tua saya, ”saya pusing-pusing, minta suntik sama dokter
itu langsung sembuh.” Ya, jawabannya adalah sugesti, dan ini akan banyak anda
temui di kampung-kampung. Sugesti bukan hanya karena “suntik” tapi juga
“dokter”, yang sebetulnya adalah mantri suntik atau perawat.
Saya tidak menyalahkan sugesti dalam dunia pengobatan
karena itu termasuk hal penting, tapi tidak terpikirkah kita, kenapa farmasis
tidak membuat plasebo saja kalau permasalahannya hanya sugesti? Masyarakat
tidak akan ada yang tahu kalau obat yang mereka minum adalah plasebo, bukan?
Tapi seorang farmasis tidak bisa mengabaikan tanggung jawab sosial yang
dibebankan. Tanggung jawab sosial yang seharusnya menciptakan sesuatu yang
terbaik untuk masyarakat, seperti yang sering kita temui di kampus-kampus
dengan segala “kesempurnaannya” itu.
Tak habis pikir saya, ketika ITB (kampus saya)
meluluskan tidak kurang dari 100 mahasiswa farmasi setiap tahunnya, dan entah
ada berapa di universitas yang lainnya. Lalu kemana larinya setiap senti
teknologi sediaan yang telah mereka pelajari? Bukankah Universitas, sebagai
dunia yang begitu imajiner (istilah kami), telah mengajarkan banyak hal tentang
kesempurnaan? Nilai sempurna dan jawaban sempurna. Inilah yang hilang dari
sini, suatu pandangan tentang dunia nyata di luar sana yang lebih dinamis. Yang
berujung pada terseretnya kita pada dinamika kehidupannya dan membuat kita lupa
dengan apa yang diajarkan. Seperti berkata pada diri sendiri,”aku disana hanya
mencari sesuatu dan sesuatu itu kini tak berguna lagi.” Inilah yang sering sekali
hilang: sikap. Dan mungkin ini juga merupakan dampak dari pengajaran yang
berbasis pada “kesempurnaan” tanpa memperhatikan bagaimana bersikap dalam
“memandang keluar”, atau mungkin juga karena kita jarang sekali “melihat” ke
luar sana.
Ini hanyalah sebuah contoh dari sekian banyak hal di
luar sana. Di dunia farmasi yang kecil ini, mungkin ini hanya satu dari berjuta
permasalahan yang seharusnya tidak menjadi masalah bagi kita. Di luar farmasi
apa lagi, pasti lebih banyak permasalahan-permasalahan. Padahal banyak sekali
universitas-universitas yang telah meluluskan sarjananya dengan bermodalkan
pengetahuan yang telah dipelajari bertahun-tahun lamanya. Dan satu pertanyaan
yang selalu terngiang-ngiang di pikiranku adalah “Kemana Larinya Sarjana Kita?”.
Senja telah terhimpun,
menilik awan-awan merah,
mungkin aku masih punya eok hari,
maka berdongenglah malam ini karena kau tak lagi pagi...